Minggu, 08 Januari 2012

HAMKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi HAMKA?
2.      Bagaimana pemikiran HAMKA?
3.      Bagaimana pandangan HAMKA tentang tasawuf dan Modernitas?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi.
2.      Untuk mengetahui pemikiran HAMKA.
3.      Untuk mengetahui pandangan HAMKA tentang tasawuf dan Modernitas.

BAB II
HAMKA

A.    Biografi HAMKA
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.[1]
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[2]
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.[3]
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.[4]
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.[5]
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

B.     Pemikiran HAMKA
Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”. Pendidikan Menurut Hamka Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam:
1.      Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
2.      Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
3.      Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.[6]
Dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan). Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pandangan Hamka mengenai Tarbiyah:
1.      Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
2.      Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
3.      Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.[7]
Sifat seorang pendidik menurut Hamka:
1.      Kecakapan
2.      Akhlak
3.      Skill yang baik.
Kemudian metode dan materi pendidikan Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik dan dinamika zaman.Materi pendidikan setidaknya mencakup ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, ketrampilan, dan kesenian.Kemudian, menurut Hamka, model pendidikan yang ideal adalah model pesantren, yang mana memiliki tempat belajar, masjid tempat melaksanakan ibadah, dan asrama. Penekanan pentingnya asrama, agar anak didik bias setiap saat melakukan diskusi, diawasi, dan dibimbing secara intensif.
Seorang Pendidik Menurut Hamka
a.       Objektif
b.      Menjaga akhlak
c.       Menyampaikan seluruh ilmu
d.      Menghormati keberadaan peserta didik
e.       Memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerima dan perkembangan jiwa peserta didik.[8]
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial.Peran ini dituntut harmonis. Tidak ada yang lalai antara satu dengan yang lain sehingga proses pendidikan bisa berjalan harmonis juga.
Tiga Aspek Penting bagi Peserta Didik:
1.      Jiwa (al-qalb)
2.      Jasad (al-jism)
3.      Akal (al-'aql).[9]
Aspek paling penting dari ke-3 nya menurut beliau adalah“Masalah Kejiwaan”.Dimana pendidikan “Akhlakulkarimah”terletak di sini.Hamka menekankan, akhlakulkarimah pendidik memang harus terjaga sebelum memberikan pendidikan kepada peserta didik.
Makna pendidikan dan pengajaran menurut Hamka:
1.      Pendidikan Islam merupakan: serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh kerena itu nilai-nilai yang ditanamkan melalui proses pendidikan haruslah diambil dan bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an dan hadist nabi . Seperti terdapat dalam surat Al-Imron ayat 110:
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
2.      Pengajaran Islam merupakan: upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berhubungan erat, karena setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.[10]

Dengan perpaduan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

C.    Tasawuf dan Modernitas
Pada dasarnya sejak awal perkembangan Islam, gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoterik agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (formalitas ritual agama).
Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoterik dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan), misalnya, menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoterik itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti tasawuf, sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya: ''Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan dan pikiran kaum Muslimin''.[11]
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman.  Dalam masyarakat modern, fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan.
Mengenai hal ini, Buya Hamka mengatakan: ''Setelah manusia menurutkan jalan kecepatan pengaruh hidup benda itu (materialisme), timbullah pada mereka satu perasaan yang ganjil sekali. Di mana-mana telah timbul perasaan tidak puas dengan kemajuan hidup kebendaan ini. Kapal terbang, radar, piring terbang, bom atom, bom hidrogen yang lebih dahsyat, radio, televisi, dan beratus macam alat pendapatan baru untuk kemewahan dan kesenangan hidup, semuanya sudah dapat dikuasai, tetapi diri masih terasa kurang. Hidup menurutkan perintah kebendaan belaka, sendirinya telah menimbulkan jemu. Siang hari kerja keras mencari keuntungan dan kekayaan dengan semboyan time is money (tempo itu adalah uang). Tetapi, ternyata manusia sesamanya telah memperebutkan tempo untuk sebanyak-banyaknya uang bagi diri sendiri, biarpun merugikan orang lain. Siapa yang tidak sigap mengejar tempo, tersingkirlah dia ke tepi dan habislah umurnya untuk itu. Semata-mata hidup kebendaan ternyata hanya menimbulkan rasa kebencian dan kedengkian sesama manusia. Baik dengan orang seorang, apatah lagi di antara bangsa yang lebih banyak mendapat benda dengan bangsa yang mendapat sedikit''.[12]
Dalam refleksinya, Hamka sering memperkenalkan konsep neo-zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tasawuf semacam ini sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern,agar dapat menormalkan cara pandangnya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaannya, dan eksistensinya. Tidak heran buku beliau yang berjudul Tasawuf Modern begitu laris di pasaran.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Buya Hamka merupakan salah satu tokoh nasionalis dan religius di Indonesia. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hakekat pendidikan bagi Hamka bertujuan untuk membentuk kepribadian manusia yang luhur. Pendidikan dan penagajaran sangatlah berbeda secara makna. Pendidikan mengarah kepada pengembangan values (nilai-nilai) sedangkan pengajaran hanya pada aspek transfer of knowledge.
Untuk dapat mewujudkan itu semua diperlukan wahana yakni dengan
diwujudkan lewat pendidikan berasrama.

B.     Saran
Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Buya Hamka.









DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, (2009), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Hamka, (2007), Tasawuf Modern, Jakarta: Kencana.
Samsul Nizar, (2008), Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Grup.
Santoso, (1979), Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka,(Jakarta: Terbitan Yayasan Nurul Islam.





 


[1]Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Grup, 2008), hal. 321.
[2]Ibid., hal. 313.
[4]Santoso, Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, (Jakarta: Terbitan Yayasan Nurul Islam, 1979), hal. 36.
[6]Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 31.
[7]Santoso, op.cit., hal. 32-33.
[9]ibid
[11]Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 81.
[12]Ibid.

PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI NON TES II (CARA-CARA PENGEMBANGAN INSTRUMEN PADA PENILAIAN BERBEBTUK NON TES TULIS)

KATA PENGANTAR

A025
           

Alhamdulillah, kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia serta nikmatnya sehingga saya dapat  menyelesaikan  Makalah tentang Penyusunan Instrumen Evaluasi Non Tes II (Cara-Cara Pengembangan Instrumen Pada Penilaian Berbentuk Non Tes Tulis).
Shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW  karena dengan perjuangannya kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Selanjutnya kepada semua pihak yang terlibat di dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu semoga  mendapat berkah dari Allah SWT.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekeliruan, namun demikian penulis mengharapkan tegur sapa, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari rekan-rekan, sehingga dengan saran dan kritik dari rekan-rekan mudah-mudahan penulis bisa memperbaiki untuk kedepannya, karena tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan dan kehilafan. Penulis berharap semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

                                                                                   Tembilahan,    September 2011


                                                        KELOMPOK VII
                                              

 



DAFTAR ISI

 

BAB I     PENDAHULUAN                                                    
              A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1
              B. Rumusan Masalah......................................................................... 1
              C. Tujuan Penulisan........................................................................... 1
                

BAB II PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI NON TES II (CARA-CARA PENGEMBANGAN INSTRUMEN PADA PENILAIAN BERBENTUK NON TES TULIS)
.............. A. Pengertian Instrumen Evaluasi Non Tes Tulis............................. 2
  B. Cara-Cara Pengembangan Instrumen pada Penilaian Berbentuk Non Tes Tulis            2

BAB III  PENUTUP
              A. Kesimpulan................................................................................. 12
              B. Saran........................................................................................... 12
                               
DAFTAR PUSTAKA
















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kegiatan “mengukur” atau “melakukan pengukuran” adalah merupakan kegiatan yang paling umum dilakukan dan merupakan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi dalam penilaian hasil belajar. Kegiatan “mengukur” itu pada umumnya tertuang dalam bentuk tes dengan berbagai variasinya.
Teknik tes bukan satu-satunya teknik untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik non-tes. Dengan teknik non-tes maka penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa “menguji” peserta didik, melainkan dengan berbagai cara, seperti: Skala, Angket, Wawancara dan Observasi
Disini pemakalah akan membahas secara lebih lanjut tentang pengembangan instrumen non tes tulis.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian instrumen non tes tulis?
2.      Bagaimana cara-cara pengembangan instrumen pada penilaian berbentuk non tes tulis?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Pengertian instrumen non tes tulis.
2.      Cara-cara pengembangan instrumen pada penilaian berbentuk non tes tulis.




BAB II
PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI NON TES II
(CARA-CARA PENGEMBANGAN INSTRUMEN PADA PENILAIAN BERBEBTUK NON TES TULIS)

A.    Pengertian Instrumen Evaluasi Non Tes Tulis
Penilaian non test adalah “penilaian pengamatan perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan apa yang dapat diperbuat atau dikerjakan oleh peserta didik dibandingkan dengan apa yang diketahui atau dipahaminya”.[1] Dengan kata lain penilaian non test behubungan dengan penampilan yang dapat diamati dibandingkan dengan pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati oleh indera.
Adapun menurut Hasyim, ”Penilaian non test adalah penilaian yang mengukur kemampuan siswa secara langsung dengan tugas-tugas riil dalam proses pembelajaran. Contoh penilaian non test banyak terdapat pada keterampilan menulis untuk bahasa, percobaan laboratorium sains, bongkar pasang mesin, teknik dan sebagainya”.[2]
Teknik penilaian nontes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak menggunakan tes.
Sedangkan teknik penilaian non tes tulis maksudnya adalah bentuk evaluasi non tes yang berbentuk tulisan atau non lisan.

B.     Cara-Cara Pengembangan Instrumen pada Penilaian Berbentuk Non Tes Tulis
Bermacam-macam jenis penilaian bentuk non tes bentuk tulis dalam rangka menilai keberhasilan belajar siswa. Diantara non tes bentuk tulis adalah angket, skala sikap dan observasi.
Pengembangan Instrumen Penilaian yang dikembangkan perlu memperhatikan hal-hal berikut: 
-       Berhubungan dengan kondisi pembelajaran di kelas dan/atau di luar kelas.
-       Relevan dengan proses pembelajaran, materi, kompetensi dan kegiatan pembelajaran.
-       Menuntut kemampuan berpikir berjenjang, berkesinambungan, dan bermakna dengan mengacu pada aspek berpikir Taksonomi Bloom (aspek kognitif, afektif dan psikomotor).
-       Mengembangkan kemampuan berpikir kritis seperti: mendeskripsikan, menganalisis, menarik kesimpulan, menilai, melakukan penelitian, memecahkan masalah.
-       Mengukur berbagai kemampuan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik
-        mengikuti kaidah penulisan soal.
Langkah-langkah dalam pengembangan instrumen non tes (dilihat dari afektif dan psikomotor):
-          Menentukan spesifikasi instrumen.
-          Menulis instrumen.
-          Menentukan skala pengukuran.
-          Menentukan penskoran.
-          Menelaah instrument.
-          Melakukan uji coba.
-          Menganalisis hasil uji coba.
-          Melaksanakan pengukuran.
-          Menafsirkan hasil pengukuran.[3]
Untuk memperjelas cara-cara pengembangan Instrumen tersebut, maka perlu dijelaskan secara mendetail satu persatu.
1.      Angket
Angket (kuesioner) merupakan alat pengumpul data melalui komunikasi tidak langsung, yaitu melalui tulisan. Angket ini berisi daftar pertanyaan yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan responden.[4]
Ditinjau dari segi siapa yang menjawab:
a.       Kuesioner langsung
Kuesioner dikatakan langsung jika kuesioner tersebut dikirimkan dan diisi langsung oleh orang yang akan dimintai jawaban tentang drinya.
b.      Kuesioner tidak langsung
Adalah kuesioner yang dikirimkan dan diisi oleh bukan orang yang diminta keterangannya. Kuisioner tidak langsung biasanya digunakan untuk mencari informasi tentang bawahan, anak, saudara, tetangga dan sebagainya.
Ditinjau dari segi cara menjawabnya:
a.       Kuesioner tertutup
Adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawabam lengkap sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih.
b.      Kuesioner terbuka
Adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga para pengisi bebas mengemukakan pendapat. Kuesioner terbuka disusun apabila macam jawaban pengisi belum terperinci dengan jelas sehingga jawabannya akan beraneka ragam. Keterangan tentang alamat pengisi, tidak mungkin diberikan dengan cara memilih pilihan jawaban yang disediakan. Kuesioner terbuka juga digunakan untuk meminta pendapat seseorang.[5]
Angket sebagai alat penilaian terhadap sikap tingkah laku, bakat, kemampuan, minat anak, mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan angket antara lain:
1.      Dengan angket kita dapat memperoleh data dari sejumlah anak yang banyak yang hanya membutuhkan waktu yang sigkat.
2.      Setiap anak dapat memperoleh sejumlah pertanyaan yang sama
3.      Dengan angket anak pengaruh subjektif dari guru dapat dihindarkan
Sedangkan kelemahan angket, antara lain:
1.      Pertanyaan yang diberikan melalui angket adalah terbatas, sehingga apabila ada hal-hal yang kurang jelas maka sulit untuk diterangkan kembali.
2.      Kadang-kadang pertanyaan yang diberikan tidak dijawab oleh semua anak, atau mungkin dijawab tetapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena anak merasa bebas menjawab dan tidak diawasi secara mendetail.
3.      Ada kemungkinan angket yang diberikan tidak dapat dikumpulkan semua, sebab banyak anak yang merasa kurang perlu hasil dari angket yang diterima, sehingga tidak memberikan kembali angketnya.[6]
Syarat angket yang baik memiliki komponen sebagai berikut:
-          Ada petunjuk jelas mengenai maksud diberikannya kuesioner.
-          Ada petunjuk jelas mengenai cara pengisian kuesioner.
-          Menggunakan kalimat yang mudah dimengerti dan tidak bias arti/ambigu.
-          Menghindari pertanyaan yang tidak jelas, tidak perlu dan tidak relevan
-          Menghindari pertanyaan yang sugestif, bernada menekan/mengancam.
-          Menggunakan urutan pertanyaan yang logis dan sistematis.
-          Merahasiakan identitas responden agar  responden obyektif dalam menjawab.[7]
Contoh angket yang baik sebagai berikut:
ANGKET MOTIVASI SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran          :……………………
Kelas/ Semester          : …………………..
Hari/tanggal               : ……………… ..
Petunjuk
1.      Pada angket ini terdapat 8 pernyataan. Mohon dijawab sesuai dengan hati nurani masing-masing.
2.      Berilah jawaban yang benar sesuai dengan pilihanmu.
3.      Pertimbangkan setiap pernyataan secara terpisah dan tentukan kebenarannya.
4.      Jangan takut dalam menjawab karena hasil angket ini digunakan untuk penelitian dan tidak akan berpengaruh pada hasil belajar atau proses pembelajaran selanjatnya.
5.      Isilah dengan member tanda centang (√) atau silang (X) pada kotak pilihan 1, 2, 3, 4 atau 5 yang telah tersedia.
6.      Atas jawaban dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.
Keterangan Pilihan jawaban:
1. = sangat tidak setuju
2. = tidak setuju
3. = ragu-ragu
4. = setuju
5. = sangat setuju
NO
Pertanyaan
Pilihan Jawaban
1
2
3
4
5
1.
Siswa belajar karena ingin mendapat nilai tinggi





2.
Siswa belajar karena ingin mengetahui isi dari materi ajar





3.
Siswa belajar karena ingin mendapatkan pujian





4.
Siswa belajar karena ingin mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan





5.
Siswa belajar karena ingin menjadi orang pintar





6.
Siswa belajar karena ingin melaksanakan perintah orang tua





7.
Siswa belajar karena ingin mendapatkan prestasi yang baik





8.
Siswa belajar karena takut dihukum






4.      Skala Sikap
Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang datang pada dirinya.
a.      Bentuk Skala Sikap
Bentuk skala yang dapat di pergunakan dalam pengukuran bidang pendidikan yaitu:
-       Skala likert ialah skala yang dapat di pergunakan untuk mengukur sikap,pendapat,dan persepsi seseorang atau sekelompok  orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Contoh alternatif jawaban: Sangat setuju ( SS ), Setuju ( S ), Ragu-Ragu ( RR ), Sangat Tidak Setuju ( STS ).
-       Skala guttman yaitu skala yang mengiginkan tipe jawan tegas, seperti jawaban benar salah, ya–tidak, pernah–tidak pernah, positif- negatif, tinggi–rendah, baik–buruk, dan seterusnya.pada skala Guttman ada dua interval yaitu setuju dan tidak setuju.selain dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan pilihan ganda, skala Guttman dapat juga dibuat dalam bentuk daftar checklist.
-       Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap,tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau checklis, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan garis,dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya.
-       Data–data skala yang diperoleh melaui tiga macam skala diatas adalah data kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan rating scale, data yang diperoleh adalh data kuanitatif (angka) yakng kemudian ditafsirkan dalm pengertian kualitatif. Skala ini lebih fleksibel, tidak saja untuk mengukur sikap tetapi juga digunakan untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lingkungan, seperti skala untuk mengukur status sosial ekonomi, pengetahuan,kemampuan,dan lain-lain.
-       Skala thurstone ialah skala yang disusun dengan memilih butir yang berbentuk skala interval. Setiap butir memiliki kunci skor dan jika diurut, kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak sama. Skala thurstone dibuat dalam bentuk sejumlah (40-50) pertanyaan yang relevan dengan variabel yang hendak diukurkemudian sejumlah ahli (20-40) orang yang menilai relevansi pertanyaan itu dengan konten atau konstruk variabel yang hendak diukur. Nilai 1 pada skala diatas menyatakan sangat tidak relevan, sedangkan nilai 11 menyatakan sangat relevan.[8]
b.      Langkah-langkah pengembangan skala pada umumnya adalah:
-       Menentukan objek yang dituju, kemudian tetapkan variabel yang akan diukur dengan skala tersebut.
-       Lakukan analisis variabel tersebut menjadi beberapa subvariabel atau dimensi variabel, lalu kembangkan indikator setiap dimensi tersebut.
-       Dari setiap indikator, tentukan ruang lingkup pernyataan sikap yang berkenaan dengan aspek kognisi, afeksi, dan konasi terhadap objek sikap.
-       Susunlah pernyataan untuk masing-masing aspek tersebut dalam dua kategori yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif, secara seimbang banyaknya.[9]
c.       Prosedur Penyusunan Item Utuk Skala Sikap
Pada garis besarnya penysunan item untuk skala, perlu ditempuh langkah–langkah sebagai berikut:
-          Menentukan gejala yang ditemui.
-          Rumuskan perilaku apa yang mengacu sikap apa terhadap obyek atau gejala tersebut.
-          Rumuskan karakteristik dari perilaku sikap tersebut.
-          Rincilah lebih lanjut tiap karekteristik menjdi sejumlah atribut yang lebih speifik.
-          Tentukan indicator penilaian terhadap setiap atribut tersebut.
-          Sususnlah perangkat item sesuai dengan indicator yang telah dirumuskan.
-          Suatu skala terdiri dari antara 20 sampai dengan 30 item.
-          Susunlah item tersebut, yang terdiri dari separuhnya dalam bentuk. pernyataan positif dan separuhnya dalm bentuk pernyataan negatif.
-          Tentukan banyak skala: lima atau  tujuh atau sebelas alternatif.
-          Tentukan bobot nilai bagi tiap skalanya. Misalnya 4,3,2,1.0 untuk lima nilai skala, sebagai dasar perhitungan kuantitatif.[10]

5.      Observasi
Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah.[11]
a.      Kebaikan dan kejelekan observasi
Kebaikan dari observasi adalah sebagai berikut:
-          Data yang dikumpulkan melalui observasi cenderung mempunyai keandalan yang tinggi. Kadang observasi dilakukan untuk mengecek validitas dari data yang telah diperoleh sebelumnya dari individu-individu.
-          Dapat melihat langsung apa yang sedang dikerjakan, pekerjaan-pekerjaan yang rumit kadang-kadang sulit untuk diterangkan.
-          Dapat menggambarkan lingkungan fisik dari kegiatan-kegiatan, misalnya tata letak fisik peralatan, penerangan, gangguan suara dan lain-lain.
-          Dapat mengukur tingkat suatu pekerjaan, dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu unit pekerjaaan tertentu.[12]
Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut:
-          Umumnya orang yang diamati merasa terganggu atau tidak nyaman, sehingga akan melakukan pekerjaannya dengan tidak semestinya.
-          Pekerjaan yang sedang diamati mungkin tidak mewakili suatu tingkat kesulitan pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan khusus yang tidak selalu dilakukan atau volume-volume kegiatan tertentu.
-          Dapat mengganggu proses yang sedang diamati.
-          Orang yang diamati cenderung melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dari biasanya dan sering menutup-nutupi kejelekan-kejelekannya.
b.      Langkah yang ditempuh dalam membuat pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut:
-          Lakukan terlebih dahulu observasi langsung terhadap suatu proses tingkah laku, misalnya penampilan guru di kelas. Lalu catat kegiatan yang dilakukannya dari awal sampai akhir pelajaran. Hal ini dilakukan agar dapat menentukan jenis perilaku guru pada saat mengajarkan sebagai segi-segi yang akan diamati.
-          Berdasarkan gambaran dari langkah ( a ) di atas, penilai menentukan segi-segi mana dari perilaku guru tersebut yang akan diamati sehubungan dengan keperluannya. Urutkan segi-sejgi tersebut sesuai dengan apa yang seharusnya berdasarkan khasanah pengetahuan ilmiah, misalnya berdasarkan teori mengajar. Rumusan tingkah laku tersebutu harus jelas dan spesifik sehingga dapat diamati oleh pengamatnya.
-          Tentukan bentuk pedoman observasi tersebut, apakah benruk bebas (tak perlu jawaban, tetapi mencatat apa yang tampak) atau pedoman yangn berstruktur (memakai kemungkinan jawaban). Bila dipakai bentuk yang berstruktur, tetapkan pilihan jawaban serta indikator-indikator dan setiap jawaban yang disediakan sebagai pegangan bagi pengamat pada saat melakukan observasi nanti.
-          Sebelum observasi dilaksanakan, diskusikan dahulu pedoman observasi yang telah dibuat dan calon observanagar setiap segi yang diamati dapat dipahami maknanya dan bagaimana cara mengisinya.
-          Bila ada hal khusus yang menarik,tetapi tidak ada dalam pedoman observasi, sebaiknya diadakan catatan khusus atau komentar pengamat di bagian akhir pedoman observasi.[13]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penilaian non test adalah “penilaian pengamatan perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan apa yang dapat diperbuat atau dikerjakan oleh peserta didik dibandingkan dengan apa yang diketahui atau dipahaminya”. Dengan kata lain penilaian non test behubungan dengan penampilan yang dapat diamati dibandingkan dengan pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati oleh indera.
Bermacam-macam jenis penilaian bentuk non tes bentuk tulis dalam rangka menilai keberhasilan belajar siswa. Diantara non tes bentuk tulis adalah angket, skala sikap dan observasi. Pengembangan Instrumen Penilaian yang dikembangkan perlu memperhatikan hal-hal berikut: Berhubungan dengan kondisi pembelajaran di kelas dan/atau di luar kelas, relevan dengan proses pembelajaran, materi, kompetensi dan kegiatan pembelajaran, menuntut kemampuan berpikir berjenjang, berkesinambungan, dan bermakna dengan mengacu pada aspek berpikir Taksonomi Bloom (aspek kognitif, afektif dan psikomotor), mengembangkan kemampuan berpikir kritis seperti: mendeskripsikan, menganalisis, menarik kesimpulan, menilai, melakukan penelitian, memecahkan masalah, mengukur berbagai kemampuan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik dan mengikuti kaidah penulisan soal.

B.     Saran
Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan sehingga dalam pelaksanaak pembelajaran di kelas dapat menerapkannya.





DAFTAR PUSTAKA

H. Djaali dan  Pudji Mulyono, (2008),  Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo.
Nana Sudjana, (2007), Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT Remaja RosdaKarya.
Oemar Hamalik, (2009), Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, Bandung: Mandar Maju.
Sri Wardhani, dkk, (2010), Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD, Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.
Sukardi, (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.


[1]Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya. 2007), hlm. 84
[3]Ibid.
[4]H. Djaali dan  Pudji Mulyono,  op.cit, hlm. 234.
[5]Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 78.
[6]Sri Wardhani, dkk, Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD, (Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 20100, hlm. 37.
[7]Sukardi, op.cit., hlm. 78.
[8]H. Djaali dan  Pudji Mulyono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan , (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 28-30.
[9]Nana Sudjana op.cit., hlm. 81.
[10]Oemar Hamalik, Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 108-111.
[12]Ibid.
[13]Nana Sudjana, op.cit., hlm. 85-86.