Minggu, 08 Januari 2012

HAMKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi HAMKA?
2.      Bagaimana pemikiran HAMKA?
3.      Bagaimana pandangan HAMKA tentang tasawuf dan Modernitas?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi.
2.      Untuk mengetahui pemikiran HAMKA.
3.      Untuk mengetahui pandangan HAMKA tentang tasawuf dan Modernitas.

BAB II
HAMKA

A.    Biografi HAMKA
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.[1]
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[2]
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.[3]
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.[4]
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.[5]
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

B.     Pemikiran HAMKA
Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”. Pendidikan Menurut Hamka Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah pendidikan Islam:
1.      Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
2.      Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
3.      Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.[6]
Dari ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan kemanusiaan). Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pandangan Hamka mengenai Tarbiyah:
1.      Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
2.      Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
3.      Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.[7]
Sifat seorang pendidik menurut Hamka:
1.      Kecakapan
2.      Akhlak
3.      Skill yang baik.
Kemudian metode dan materi pendidikan Islam harus disesuaikan dengan kebutuhan anak didik dan dinamika zaman.Materi pendidikan setidaknya mencakup ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, ketrampilan, dan kesenian.Kemudian, menurut Hamka, model pendidikan yang ideal adalah model pesantren, yang mana memiliki tempat belajar, masjid tempat melaksanakan ibadah, dan asrama. Penekanan pentingnya asrama, agar anak didik bias setiap saat melakukan diskusi, diawasi, dan dibimbing secara intensif.
Seorang Pendidik Menurut Hamka
a.       Objektif
b.      Menjaga akhlak
c.       Menyampaikan seluruh ilmu
d.      Menghormati keberadaan peserta didik
e.       Memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerima dan perkembangan jiwa peserta didik.[8]
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial.Peran ini dituntut harmonis. Tidak ada yang lalai antara satu dengan yang lain sehingga proses pendidikan bisa berjalan harmonis juga.
Tiga Aspek Penting bagi Peserta Didik:
1.      Jiwa (al-qalb)
2.      Jasad (al-jism)
3.      Akal (al-'aql).[9]
Aspek paling penting dari ke-3 nya menurut beliau adalah“Masalah Kejiwaan”.Dimana pendidikan “Akhlakulkarimah”terletak di sini.Hamka menekankan, akhlakulkarimah pendidik memang harus terjaga sebelum memberikan pendidikan kepada peserta didik.
Makna pendidikan dan pengajaran menurut Hamka:
1.      Pendidikan Islam merupakan: serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh kerena itu nilai-nilai yang ditanamkan melalui proses pendidikan haruslah diambil dan bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an dan hadist nabi . Seperti terdapat dalam surat Al-Imron ayat 110:
Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
2.      Pengajaran Islam merupakan: upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berhubungan erat, karena setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.[10]

Dengan perpaduan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

C.    Tasawuf dan Modernitas
Pada dasarnya sejak awal perkembangan Islam, gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoterik agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (formalitas ritual agama).
Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoterik dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan), misalnya, menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoterik itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti tasawuf, sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya: ''Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan dan pikiran kaum Muslimin''.[11]
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman.  Dalam masyarakat modern, fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan.
Mengenai hal ini, Buya Hamka mengatakan: ''Setelah manusia menurutkan jalan kecepatan pengaruh hidup benda itu (materialisme), timbullah pada mereka satu perasaan yang ganjil sekali. Di mana-mana telah timbul perasaan tidak puas dengan kemajuan hidup kebendaan ini. Kapal terbang, radar, piring terbang, bom atom, bom hidrogen yang lebih dahsyat, radio, televisi, dan beratus macam alat pendapatan baru untuk kemewahan dan kesenangan hidup, semuanya sudah dapat dikuasai, tetapi diri masih terasa kurang. Hidup menurutkan perintah kebendaan belaka, sendirinya telah menimbulkan jemu. Siang hari kerja keras mencari keuntungan dan kekayaan dengan semboyan time is money (tempo itu adalah uang). Tetapi, ternyata manusia sesamanya telah memperebutkan tempo untuk sebanyak-banyaknya uang bagi diri sendiri, biarpun merugikan orang lain. Siapa yang tidak sigap mengejar tempo, tersingkirlah dia ke tepi dan habislah umurnya untuk itu. Semata-mata hidup kebendaan ternyata hanya menimbulkan rasa kebencian dan kedengkian sesama manusia. Baik dengan orang seorang, apatah lagi di antara bangsa yang lebih banyak mendapat benda dengan bangsa yang mendapat sedikit''.[12]
Dalam refleksinya, Hamka sering memperkenalkan konsep neo-zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tasawuf semacam ini sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern,agar dapat menormalkan cara pandangnya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaannya, dan eksistensinya. Tidak heran buku beliau yang berjudul Tasawuf Modern begitu laris di pasaran.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Buya Hamka merupakan salah satu tokoh nasionalis dan religius di Indonesia. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hakekat pendidikan bagi Hamka bertujuan untuk membentuk kepribadian manusia yang luhur. Pendidikan dan penagajaran sangatlah berbeda secara makna. Pendidikan mengarah kepada pengembangan values (nilai-nilai) sedangkan pengajaran hanya pada aspek transfer of knowledge.
Untuk dapat mewujudkan itu semua diperlukan wahana yakni dengan
diwujudkan lewat pendidikan berasrama.

B.     Saran
Semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Buya Hamka.









DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, (2009), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Hamka, (2007), Tasawuf Modern, Jakarta: Kencana.
Samsul Nizar, (2008), Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Grup.
Santoso, (1979), Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka,(Jakarta: Terbitan Yayasan Nurul Islam.





 


[1]Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Grup, 2008), hal. 321.
[2]Ibid., hal. 313.
[4]Santoso, Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, (Jakarta: Terbitan Yayasan Nurul Islam, 1979), hal. 36.
[6]Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 31.
[7]Santoso, op.cit., hal. 32-33.
[9]ibid
[11]Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 81.
[12]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar